Bismillah.
Allahumma yassir wa a’in.
Di bagian ini, kebetulan, saya tidak menemukan kisah yang terkait. Jadi, saya tidak bisa mengawali tulisan ini dengan cerita. Untuk mengisi kekosongan cerita, saya hanya akan menyampaikan obrolan ringan, seputar anggapan yang salah tentang takdir Allah, yang tersebar di masyarakat.
Saya yakin, di antara kita pernah mendengar anggapan bahwa orang yang rezekinya banyak adalah orang yang disayang Allah. Namun, sebaliknya, ketika roda hidup “lagi seret”, muncul anggapan, “Allah sedang marah sama saya.” Bahkan, bisa jadi, anggapan itu juga ada dalam diri kita. Ketika kita sedang banyak hoki, kita berpikiran, “Allah sedang memihak saya.” Sebaliknya, ketika sedang dilanda kesempitan, terlintas dalam benak kita, “Kelihatannya, Allah sedang membenci saya.”
Turunan dari anggapan ini adalah munculnya pertanyaan sebagian kaum muslimin: Kenapa Allah memberi banyak rezeki kepada orang kafir? Mengapa mereka jauh lebih kaya dan mengecap lebih banyak nikmat daripada kaum muslimin? Mengapa justru orang Islam, yang beriman kepada Allah, banyak yang melarat, hidupnya miskin, sudah shalat jungkat-jungkit, tetap saja rezekinya seret, utangnya banyak … dan seabrek komentar lainnya.
Satu hal yang patut kita catat, anggapan semacam ini telah dibantah oleh Allah. Tidak perlu kita nilai, apakah anggapan ini salah atau benar. Cukuplah kita nyatakan bahwa ketika Allah membantah asumsi manusia, berarti asumsi manusia itu bukan asumsi yang benar.
Bantahan tersebut Allah nyatakan dalam firman-Nya,
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (*) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (*) كَلَّا بَلْ….
“Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan dan diberi kesenangan oleh-Nya maka dia akan berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku.’ Sekali-kali, tidak (demikian)! ….” (Q.S. Al-Fajr:15–17)
Keterangan ringkas ayat ini saya ambil dari paparan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, “’Sekali-kali, tidak (demikian)! ….‘ maksudnya: Tidaklah setiap orang yang Allah beri nikmat dan Dia luaskan rezekinya, berarti telah dimuliakan oleh Allah. Sebaliknya, orang yang diuji oleh Allah dan Allah sempitkan rezekinya, bukanlah berarti dia telah dihinakan oleh Allah. Namun, yang benar, Allah menguji seseorang dengan kenikmatan dan Allah memuliakan orang yang lain dengan ujian (kesialan).” (Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, Ibnul Qayyim, Dar Al-Kutub Ilmiyyah, Beirut, hlm. 21)
Di samping itu, terdapat riwayat dalam hadis yang semakna dengan ayat di atas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن الله يعطي الدنيا من يحب ومن لا يحب ولا يعطي الإيمان إلا من أحب
“Sesungguhnya, Allah memberi (nikmat) dunia kepada orang yang Dia cintai dan yang tidak Dia cintai. Namun, Dia tidak memberi iman, kecuali kepada orang yang Dia cintai.” (H.R. Hakim; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Saya yakin, setiap orang–yang sadar–akan merasa malu ketika dia memiliki satu pemahaman yang disalahkan oleh pakar di bidangnya. Anda yang awam tentang ilmu kedokteran, kemudian mencetuskan satu anggapan tentang masalah kesehatan, akan malu ketika ada seorang dokter yang membantah anggapan Anda di hadapan umum. Karena itu, seharusnya kita malu di hadapan Allah, ketika kita memiliki satu anggapan yang Dia salahkan dan Dia bantah.
Semoga bermanfaat ….
***
Penulis: Ust. Ammi Nur Baits, S.T. BA
Artikel www.PengusahaMuslim.com